Thursday, August 1, 2013

Darimu, aku belajar kehidupan..


Saya sering iri melihat adegan seperti di foto tersebut. Walaupun saya sudah besar, kadang saya ingin kembali menjadi bocah kecil, berjalan bersama kakak saya sambil berpegangan tangan. Pegangan tangannya adalah kehangatan yg saya anggap sebuah perlindungan seorang kakak laki-laki kepada adik perempuannya. Sayangnya, saya tidak diberi kesempatan merasakannya. Aa, begitu saya memanggilnya, sudah terkena sindrom autisme. 

Aa terlahir normal. Tak kurang satu apapun. Namun di umurnya yg ketiga tahun, Aa tiba-tiba terserang panas tinggi.  Perubahan perilaku nampak setelahnya. Aa berhenti berbicara. Ibu menyadarinya saat saya, yang hanya terpaut 1 tahun, sudah banyak mengoceh, sedangkan Aa hanya terdiam sepanjang hari. Aa tidak akan menolehkan mukanya bila dipanggil, kecuali ibu yg memanggil. Aa menjadi lebih hiperaktif. Lepas dari pandangan ibu barang sedetik, Aa sudah menghilang. Tiba-tiba Aa sudah berada di sawah, berendam dalam kubangan lumpur.

Selama 26 tahun saya telah mengenal Aa. Selama itu pula saya terus berproses dan belajar. Belajar iklas, belajar memahami, belajar adil dan belajar menyayangi dengan tulus. Dan perjalanan itu tak selalu mulus. Waktu kecil, saya sering iri dengan "perbedaan" treatment yg ibu terapkan pada saya, kakak perempuan saya dan Aa. Saat itu, saya menuduh ibu tidak adil. Aa boleh begini tp saya tidak boleh. Saya harus begitu tapi aa boleh tidak begitu. Kadang saya protes, tapi ibu selalu bilang, "adil itu tidak selalu sama, tapi sesuai dgn tempatnya". Iya, Aa berbeda, maka kebutuhan akan perhatiannya pun pasti berbeda.

Sebagai anak bungsu, saya merasa masih punya adik. Ada Aa yang harus saya jaga. Walau sekarang sudah tidak hiperaktif seperti waktu kecil, tapi saya sering waswas. Apakah dia berjalan terlalu ke tengah jalan saat saya mengajaknya jalan-jalan pagi. Atau dengan sigap saya melarang Aa membuka pintu saat ada orang asing mengetuk pintu rumah kami. Saya juga memastikan kumis dan jambangnya tidak tumbuh terlalu lebat. Bila sudah lebat, dengan pisau cukur dan foam, saya mulai mencukurnya. Aa pasrah saja, diam menerima mukanya dipermak. Satu-satunya cara yang bisa saya lakukan agar saya merasa menjadi seorang "adik" adalah dengan bermanja-manja, minta dipeluk atau digendong di punggungnya.

Kadang saya bertanya pada Tuhan, mengapa kakak saya harus autis? Apakah Aa bisa sembuh? Karena saya pun ingin merasakan memiliki kakak laki-laki. Yang menggenggam tangan saya saat berjalan, marah saat ada berandalan yang mencoba mengganggu, atau menjadi teman curhat saat saya menaksir teman laki-laki. Namun semua tanya pasti menemukan jawaban. Dan saya menemukan jawaban itu saat saya melihat kedua orang tua saya. Hati ibu dan bapa pasti lebih sakit dari saya, melihat anak laki-laki satunya, harapan mereka, harus berbeda dengan anak-anak lainnya. Tapi mereka dengan iklas bisa menerima suratan takdir yang sudah Tuhan gariskan. Aa adalah anugrah. Dan saya sebenarnya beruntung, diberi kesempatan untuk lebih memahami manusia yg luar biasa seperti Aa.

***

So please, STOP using autism as a joke
Karena bagi sebagian orang, itu menyakitkan