Sebelum jalan tol Cipularang beroperasi, arus kendaraan dari
Jakarta menuju Bandung dan sebaliknya masih mempergunakan Jalan Raya Padalarang,
Bandung Barat. Kios-kios yang menjajakan oleh-oleh khas Bandung dapat kita
jumpai di sepanjang jalan. Kita juga akan melewati jalan berliku menanjak
dengan pemandangan gunung kapur yang merupakan bagian dari Karst Citatah.
Pabrik-pabrik pengolahan batu kapur ikut berdiri di sepanjang gunung kapur yang
mulai ‘ompong’.
Di balik hiruk pikuk pabrik pengolahan batu kapur tersebut,
tersembunyi sebuah bukit yang menyimpan catatan masa purbakala. Bukit itu bernama Pasir
Pawon. Pasir Pawon terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat,
Kabupaten Bandung Barat. Pasir Pawon dapat dibagi menjadi dua kata, yaitu pasir
dan pawon. Dalam bahasa Sunda, pasir
berarti bukit dan pawon berarti
dapur. Menurut legenda Sunda, gua Pawon (bagian dari Pasir Pawon) merupakan
dapur Dayang Sumbi. Bukit ini memiliki dua bagian yaitu Taman Batu dan Gua
Pawon. Taman Batu berada di puncak Pasir Pawon sedangkan Gua Pawon berada di
bawah Taman Batu dengan pintu masuk berada di kaki bukitnya.
Perjalanan dari Bandung menuju Pasir Pawon ditempuh selama
satu jam. Saya yang merupakan peserta dari kegiatan “Ngalalakon Gua Pawon” yang diadakan oleh Muslimah Community hanya
manut-manut saja mengikuti itinerary
yang telah mereka rancang. Perjalanan ini dipandu oleh komunitas mooibandoeng. Kami berhenti di sebuah mesjid di
pinggir Jalan Raya Padalarang. Dari mesjid tersebut kami memulai perjalanan.
Kami melewati perkampungan penduduk, kebun warga dan pabrik pengolahan batu
kapur. Saya melihat asap hitam mengepul dari beberapa pabrik tersebut. Asap
hitam itu adalah hasil pembakaran ban yang digunakan untuk bahan bakar
pengolahan batu kapur.
Jalan desa yang kami lewati berserak kerikil batu kapur. Kemudian berganti dengan tanah liat yang kemerahan. Kondisi tanah yang basah setelah hujan semalam membuat jalan menjadi licin. Tanah yang kami injak mulai menggumpal pada alas sepatu, membuat langkah kami semakin berat. Sesekali kami berhenti untuk mencungkil gumpalan tanah. Berjalan beberapa meter setelahnya, tanah sudah mulai menggumpal kembali.
![]() |
Menuju Pasir Pawon |
Semakin mendekat ke puncak Taman Batu, semakin terlihat bongkahan batu gamping yang bertebaran tidak teratur. Ukuran batuan ini ada yang hanya setinggi 30 cm dan ada pula yang lebih tinggi dari manusia dewasa. Batuan gamping itu berlubang dan berceruk, mirip dengan terumbu karang. Di Taman Batu sering juga ditemukan cangkang kerang. Namun di daerah perbukitan seperti itu mengapa ada kerang? Dan batuan yang mirip terumbu karang itu mengapa bisa sampai ke perbukitan di Padalarang?Menurut informasi yang saya dapatkan dari pemandu, kawasan Pasir Pawon ini dulunya memang menjadi dasar laut dangkal. Masa itu terjadi pada 20-30 juta tahun yang lalu dan sering disebut Zaman Tersier. Pergerakan lempeng bumi telah mengangkat kawasan ini hingga muncul ke permukaan bahkan membentuk bukit-bukit.
![]() |
Taman Batu |
Pada periode berikutnya, antara
135 ribu sampai 16 ribu tahun yang lalu, seluruh wilayah Bandung sekarang
pernah terendam menjadi Danau Bandung Purba. Bentangannya mulai dari sekitar
Bendungan Saguling di sebelah barat hingga Rancaekek di sebelah timur, mulai
dari Padalarang-Bandung-Ujungberung di sebelah utara hingga
Majalaya-Banjaran-Soreang-Cililin di sebelah selatan.
Dari Taman Batu kami juga dapat melihat lintasan jalan tol
Cipularang, hamparan sawah, rumah-rumah penduduk yang mengelompok dan juga
pabrik pengolahan batu kapur. Kita juga dapat melihat rangkaian bukit yang
termasuk dalam Karst Citatah. Rangkaian ke arah timur terdapat Karang
Panganten, Pasir Bengkuang dan Pasir Kamuning. Sedangkan ke arah barat terdapat
Gunung Hawu, Pasir Pabeasan dengan Tebing 125-nya dan Gunung Manik dengan
Tebing 49-nya. Pasir Pabeasan dan Gunung Manik sering digunakan untuk panjat
tebing oleh masyarakat umum. Namun dari tahun ke tahun tinggi kedua bukit ini
semakin pendek karena terus dilakukan penambangan.
Bukit tetangga terdekat dari Pasir Pawon adalah Gunung
Masigit. Sayangnya pemandangan Gunung Masigit sangat memprihatinkan. Badannya
yang gagah sudah banyak terkikis oleh alat berat. Dari Jalan Raya Padalarang, Gunung Masigit
ini masih terlihat hijau, padahal bila dilihat dari belakang sudah banyak boroknya.
Menurut pemandu, begitulah cara penambang menambang gunung kapur,
sedikit-sedikit mulai dari bagian belakang. Padahal, menurut Peraturan Gubernur
No. 20 Tahun 2006, Gunung Masigit dan Pasir Pawon masuk ke zonasi karst kelas I
yang berarti kawasan tersebut tidak boleh ditambang sama sekali dalam radius
400 m. Ironis ya..
![]() |
Gunung Masigit dilihat dari Taman Batu |
Puas menikmati Taman Batu, perjalanan kami lanjutkan menuju Gua Pawon. Gua ini terletak di bawah Taman Batu, dengan kata lain ada di dalam Pasir Pawon. Dari Taman Batu ini kami diharuskan menuruni Tanjakan Frustasi. Jalan setapak yang kami lewati sudah tertutup semak belukar. Sehingga kami harus membuka jalan yang sudah tertutup semak belukar tersebut. Sebetulnya jalan menuju Gua Pawon ini bisa ditempuh dari pintu masuk di pinggir Jalan Raya Padalarang. Namun pemandu memilih jalan setapak tersebut agar sensasi perjuangan menuruni bukit ini lebih terasa. Dan memang sangat terasa capeknya. Kami harus menuruni turunan dengan kemiringan hampir 60˚. Ditambah tanah yang licin. Jadilah para pemandu pria membentangkan tali untuk kami para wanita agar bisa menuruni bukit dengan selamat.
Tiket masuk ke Gua Pawon cukup terjangkau yaitu Rp.
3.000,-/orang. Mulut gua berada di dinding bukit di kaki Pasir Pawon. Kami
disambut oleh sekawanan kera jinak di luar pintu masuk. Setelah masuk,
bersiaplah untuk menutup hidung karena akan tercium bau kotoran kelelawar
(guano). Ribuan kelelawar beterbangan berputar-putar di salah satu ruangan gua.
Gua ini terbagi menjadi 10 ruang besar. Untuk berkeliling dalam gua ini, kami
harus jalan menanjak dan kadang membungkuk melewati celah yang sempit. Ornamen
gua, seperti stalaktit dan stalagmit, sudah jarang ditemui karena keadaan gua
sudah tidak sehat dan banyak dicuri oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab.
![]() |
Rombongan kelelawar menari |
Di salah satu ruangan yang dinamakan Gua Kopi terdapat
replika fosil manusia purba yang dinamakan Manusia Pawon. Terdapat pagar besi
yang melindungi ruangan replika ini. Posisi replika manusia purba dibuat sama
dengan pada saat diketemukan, yaitu meringkuk seperti janin dalam kandungan.
Fosil aslinya disimpan di Balai Arkeologi, Cileunyi, Bandung. Pada saat
dilakukan penggalian oleh Balai Arkeologi, yang ditemukan hanya tempurung
kepala, tulang iga dan rangka bawah dalam keadaan rapuh. Di Gua Kopi ini ditemukan
lima fosil manusia purba yang salah satunya diperkirakan sudah berumur 9.500
tahun. Di Gua Pawon ini juga ditemukan artefak sisa makanan, potongan tulang,
batu yang digunakan sebagai aksesoris dan peralatan manusia purba. Semua
artefak ini disimpan di Balai Arkeologi Bandung.
Menuruni Gua Kopi, kami sampai di sebuah ruang besar dan
tinggi yang bernama Kamar Tujuh. Jalur menuju ruang tersebut ditumbuhi oleh
beberapa pohon yang menjulang tinggi. Pohon-pohon tersebut dapat tumbuh karena
atap gua telah runtuh. Di salah satu dinding Kamar Tujuh terdapat lubang besar
yang sering disebut Jendela Pengintaian. Dulunya,
Jendela Pengintaian adalah tempat manusia purba mengintai hewan buruan. Dari
Jendela Pengintaian, kita dapat melihat lembah dengan hamparan sawah dan
permukiman penduduk. Hati-hati berdiri disana, karena tidak ada pengaman
apapun, langsung tebing.
Dari segi fasilitas, Gua Pawon memiliki berbagai fasilitas,
diantaranya pendopo, WC, mushala dan tempat parkir. Akses masuk Gua pawon dari
Jalan Raya Padalarang sudah bagus. Jalan sudah dibeton dan disamping kanan
kirinya terdapat pohon berjajar. Di dalam pendopo terdapat maket dari kawasan
Karst Citatah. Sambil bersantai kita dapat melihat rangkaian dari Karst
Citatah. Sayang, untuk mushala tidak dilengkapi dengan tempat wudhu yang
memadai. Hanya ada pancuran sederhana dengan pipa paralon dan ember sebagai tempat
menampung air.
Alangkah menariknya apabila di dekat pendopo dibangun museum
yang memamerkan artefak-artefak yang ditemukan di Gua Pawon berikut cerita perjalanan sejarahnya. Selain itu
untuk mempermudah jalur dari Gua Pawon menuju Taman Batu, sebaiknya dibuat
jalan setapak yang permanen namun tidak meninggalkan kealamiannya. Pasir Pawon
adalah jejak prasejarah di Tanah Parahyangan. Jangan sampai tergerus oleh keuntungan
sesaat sekelompok orang.
![]() |
Karena kita pake crocs utk naik gunung, nama gank kita : GANK CROCS!! |
![]() |
Here we are... Gank Crocs |