Wednesday, June 5, 2013

Pasir Pawon, Wisata Prasejarah Diantara Pabrik Batu Kapur



Sebelum jalan tol Cipularang beroperasi, arus kendaraan dari Jakarta menuju Bandung dan sebaliknya masih mempergunakan Jalan Raya Padalarang, Bandung Barat. Kios-kios yang menjajakan oleh-oleh khas Bandung dapat kita jumpai di sepanjang jalan. Kita juga akan melewati jalan berliku menanjak dengan pemandangan gunung kapur yang merupakan bagian dari Karst Citatah. Pabrik-pabrik pengolahan batu kapur ikut berdiri di sepanjang gunung kapur yang mulai ‘ompong’.

Di balik hiruk pikuk pabrik pengolahan batu kapur tersebut, tersembunyi sebuah bukit yang menyimpan catatan masa purbakala. Bukit itu bernama Pasir Pawon. Pasir Pawon terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Pasir Pawon dapat dibagi menjadi dua kata, yaitu pasir dan pawon. Dalam bahasa Sunda, pasir berarti bukit dan pawon berarti dapur. Menurut legenda Sunda, gua Pawon (bagian dari Pasir Pawon) merupakan dapur Dayang Sumbi. Bukit ini memiliki dua bagian yaitu Taman Batu dan Gua Pawon. Taman Batu berada di puncak Pasir Pawon sedangkan Gua Pawon berada di bawah Taman Batu dengan pintu masuk berada di kaki bukitnya. 

Perjalanan dari Bandung menuju Pasir Pawon ditempuh selama satu jam. Saya yang merupakan peserta dari kegiatan “Ngalalakon Gua Pawon” yang diadakan oleh Muslimah Community hanya manut-manut saja mengikuti itinerary yang telah mereka rancang. Perjalanan ini dipandu oleh komunitas mooibandoeng. Kami berhenti di sebuah mesjid di pinggir Jalan Raya Padalarang. Dari mesjid tersebut kami memulai perjalanan. Kami melewati perkampungan penduduk, kebun warga dan pabrik pengolahan batu kapur. Saya melihat asap hitam mengepul dari beberapa pabrik tersebut. Asap hitam itu adalah hasil pembakaran ban yang digunakan untuk bahan bakar pengolahan batu kapur.

Panitia, pemandu dan peserta berkumpul sebelum berangkat menuju Pasir Pawon

Jalan desa yang kami lewati berserak kerikil batu kapur. Kemudian berganti dengan tanah liat yang kemerahan. Kondisi tanah yang basah setelah hujan semalam membuat jalan menjadi licin. Tanah yang kami injak mulai menggumpal pada alas sepatu, membuat langkah kami semakin berat. Sesekali kami berhenti untuk mencungkil gumpalan tanah. Berjalan beberapa meter setelahnya, tanah sudah mulai menggumpal kembali. 

Menuju Pasir Pawon


Semakin mendekat ke puncak Taman Batu, semakin terlihat bongkahan batu gamping yang bertebaran tidak teratur. Ukuran batuan ini ada yang hanya setinggi 30 cm dan ada pula yang lebih tinggi dari manusia dewasa. Batuan gamping itu berlubang dan berceruk, mirip dengan terumbu karang. Di Taman Batu sering juga ditemukan cangkang kerang. Namun di daerah perbukitan seperti itu mengapa ada kerang? Dan batuan yang mirip terumbu karang itu mengapa bisa sampai ke perbukitan di Padalarang?Menurut informasi yang saya dapatkan dari pemandu, kawasan Pasir Pawon ini dulunya memang menjadi dasar laut dangkal. Masa itu terjadi pada 20-30 juta tahun yang lalu dan sering disebut Zaman Tersier. Pergerakan lempeng bumi telah mengangkat kawasan ini hingga muncul ke permukaan bahkan membentuk bukit-bukit.

Taman Batu

Pada periode berikutnya, antara 135 ribu sampai 16 ribu tahun yang lalu, seluruh wilayah Bandung sekarang pernah terendam menjadi Danau Bandung Purba. Bentangannya mulai dari sekitar Bendungan Saguling di sebelah barat hingga Rancaekek di sebelah timur, mulai dari Padalarang-Bandung-Ujungberung di sebelah utara hingga Majalaya-Banjaran-Soreang-Cililin di sebelah selatan.

Dari Taman Batu kami juga dapat melihat lintasan jalan tol Cipularang, hamparan sawah, rumah-rumah penduduk yang mengelompok dan juga pabrik pengolahan batu kapur. Kita juga dapat melihat rangkaian bukit yang termasuk dalam Karst Citatah. Rangkaian ke arah timur terdapat Karang Panganten, Pasir Bengkuang dan Pasir Kamuning. Sedangkan ke arah barat terdapat Gunung Hawu, Pasir Pabeasan dengan Tebing 125-nya dan Gunung Manik dengan Tebing 49-nya. Pasir Pabeasan dan Gunung Manik sering digunakan untuk panjat tebing oleh masyarakat umum. Namun dari tahun ke tahun tinggi kedua bukit ini semakin pendek karena terus dilakukan penambangan.

Bukit tetangga terdekat dari Pasir Pawon adalah Gunung Masigit. Sayangnya pemandangan Gunung Masigit sangat memprihatinkan. Badannya yang gagah sudah banyak terkikis oleh alat berat. Dari Jalan Raya Padalarang, Gunung Masigit ini masih terlihat hijau, padahal bila dilihat dari belakang sudah banyak boroknya. Menurut pemandu, begitulah cara penambang menambang gunung kapur, sedikit-sedikit mulai dari bagian belakang. Padahal, menurut Peraturan Gubernur No. 20 Tahun 2006, Gunung Masigit dan Pasir Pawon masuk ke zonasi karst kelas I yang berarti kawasan tersebut tidak boleh ditambang sama sekali dalam radius 400 m. Ironis ya..
 
Gunung Masigit dilihat dari Taman Batu

Puas menikmati Taman Batu, perjalanan kami lanjutkan menuju Gua Pawon. Gua ini terletak di bawah Taman Batu, dengan kata lain ada di dalam Pasir Pawon. Dari Taman Batu ini kami diharuskan menuruni Tanjakan Frustasi. Jalan setapak yang kami lewati sudah tertutup semak belukar. Sehingga kami harus membuka jalan yang sudah tertutup semak belukar tersebut. Sebetulnya jalan menuju Gua Pawon ini bisa ditempuh dari pintu masuk di pinggir Jalan Raya Padalarang. Namun pemandu memilih jalan setapak tersebut agar sensasi perjuangan menuruni bukit ini lebih terasa. Dan memang sangat terasa capeknya. Kami harus menuruni turunan dengan kemiringan hampir 60˚. Ditambah tanah yang licin. Jadilah para pemandu pria membentangkan tali untuk kami para wanita agar bisa menuruni bukit dengan selamat.
Sambil nunggu giliran nurunin Tanjakan Frustasi, mari kita narsis dulu

Tiket masuk ke Gua Pawon cukup terjangkau yaitu Rp. 3.000,-/orang. Mulut gua berada di dinding bukit di kaki Pasir Pawon. Kami disambut oleh sekawanan kera jinak di luar pintu masuk. Setelah masuk, bersiaplah untuk menutup hidung karena akan tercium bau kotoran kelelawar (guano). Ribuan kelelawar beterbangan berputar-putar di salah satu ruangan gua. Gua ini terbagi menjadi 10 ruang besar. Untuk berkeliling dalam gua ini, kami harus jalan menanjak dan kadang membungkuk melewati celah yang sempit. Ornamen gua, seperti stalaktit dan stalagmit, sudah jarang ditemui karena keadaan gua sudah tidak sehat dan banyak dicuri oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Rombongan kelelawar menari
Di salah satu ruangan yang dinamakan Gua Kopi terdapat replika fosil manusia purba yang dinamakan Manusia Pawon. Terdapat pagar besi yang melindungi ruangan replika ini. Posisi replika manusia purba dibuat sama dengan pada saat diketemukan, yaitu meringkuk seperti janin dalam kandungan. Fosil aslinya disimpan di Balai Arkeologi, Cileunyi, Bandung. Pada saat dilakukan penggalian oleh Balai Arkeologi, yang ditemukan hanya tempurung kepala, tulang iga dan rangka bawah dalam keadaan rapuh. Di Gua Kopi ini ditemukan lima fosil manusia purba yang salah satunya diperkirakan sudah berumur 9.500 tahun. Di Gua Pawon ini juga ditemukan artefak sisa makanan, potongan tulang, batu yang digunakan sebagai aksesoris dan peralatan manusia purba. Semua artefak ini disimpan di Balai Arkeologi Bandung.

Pepohonan tumbuh di salah satu ruangan gua

Menuruni Gua Kopi, kami sampai di sebuah ruang besar dan tinggi yang bernama Kamar Tujuh. Jalur menuju ruang tersebut ditumbuhi oleh beberapa pohon yang menjulang tinggi. Pohon-pohon tersebut dapat tumbuh karena atap gua telah runtuh. Di salah satu dinding Kamar Tujuh terdapat lubang besar yang sering disebut Jendela Pengintaian. Dulunya, Jendela Pengintaian adalah tempat manusia purba mengintai hewan buruan. Dari Jendela Pengintaian, kita dapat melihat lembah dengan hamparan sawah dan permukiman penduduk. Hati-hati berdiri disana, karena tidak ada pengaman apapun, langsung tebing.
Jendela Pengintaian

Dari segi fasilitas, Gua Pawon memiliki berbagai fasilitas, diantaranya pendopo, WC, mushala dan tempat parkir. Akses masuk Gua pawon dari Jalan Raya Padalarang sudah bagus. Jalan sudah dibeton dan disamping kanan kirinya terdapat pohon berjajar. Di dalam pendopo terdapat maket dari kawasan Karst Citatah. Sambil bersantai kita dapat melihat rangkaian dari Karst Citatah. Sayang, untuk mushala tidak dilengkapi dengan tempat wudhu yang memadai. Hanya ada pancuran sederhana dengan pipa paralon dan ember sebagai tempat menampung air. 

Alangkah menariknya apabila di dekat pendopo dibangun museum yang memamerkan artefak-artefak yang ditemukan di Gua Pawon berikut cerita perjalanan sejarahnya. Selain itu untuk mempermudah jalur dari Gua Pawon menuju Taman Batu, sebaiknya dibuat jalan setapak yang permanen namun tidak meninggalkan kealamiannya. Pasir Pawon adalah jejak prasejarah di Tanah Parahyangan. Jangan sampai tergerus oleh keuntungan sesaat sekelompok orang.

Karena kita pake crocs utk naik gunung, nama gank kita : GANK CROCS!!



Here we are... Gank Crocs