Tuesday, September 8, 2015

My 39 beautiful weeks...



Sudah lama ingin menulis tentang rangkuman kehamilan saya, tapi saya belum menyempatkan diri untuk menulis. Sampai akhirnya ketika tadi saya sedang merapikan foto-foto di laptop saya, saya menemukan beberapa foto kehamilan saya, dari foto USG, perut yang mulai membuncit sampai kaki yang membengkak. Rasanya saya ingin bercerita.

MEMILIH DOKTER KANDUNGAN
Karena permintaan suami dan untuk kenyamanan saya, kami memutuskan untuk mencari dokter kandungan wanita. Ternyata memilih dokter kandungan wanita itu susah susah gampang ya. Pengen yang bagus, yang enak diajak ngobrol, USGnya agak lamaan, ngga buru-buru kalo ngejelasin, TAPI PENGEN PEREMPUAN, hihihi.. Jadilah kami gonta ganti dokter kandungan sampai lima kali (karena saya pindah kota juga sih makanya sampe lima kali). Alhamdulillah kami berjodoh dengan dr. Putri Sekar Wiyati, SpOG. Perjalanan mencari dokter kandungan ini mau saya ceritain nanti ya di postingan berikutnya.

TIGA KALI TRIMESTER
Saya mengalami trimester pertama yang lumayan berat. Sering mual, muntah, badan berasa melayang-layang dan sering sendawa. Lidah yang menjadi asam dan pahit menyebabkan setiap menelan air liur merupakan sebuah perjuangan, karena harus diakhiri dengan mual. Telat makan dan telat ngemil, mual. Katanya itu pengaruh hormon. Disarankan makan permen mint, permen jahe atau permen asem. Tapi ngga ngaruh, mulut tetep berasa pahit. Walaupun sering mual dan muntah, saya memaksakan diri untuk makan. Saya juga semakin sering pipis. Masuk ke trimester dua, badan udah mulai enakan, mual mulai menghilang, perut mulai membuncit, strecmark mulai timbul, pipis semakin sering. Dan yang paling menyenangkan adalah, saya mulai bisa merasakan gerakan janin dalem perut. Awalnya berupa kedutan dan hanya saya yang bisa merasakan. Lama-lama gerakannya mulai teraba dari luar. Suami baru bisa merasakan gerakan janin dalam perut di kehamilan 5 bulan. Saya suka iri sama suami yg bisa cium mucil dalam perut saya. Saya juga pengen cium mucil, hehehe.. Trimester ketiga, badan semakin berat tapi kenaikan BB mucil kurang signifikan. Saya disuru makan alpukat dan ice cream. Kaki membengkak, tangan kesemutan, tidur udah serba salah ngga bisa ngerengkol, pipis jadi sejam sekali. Tapi alhamdulilllah bebas sakit punggung.

ASAL USUL MUCIL
Kayaknya udah jadi kebiasaan ya kalo seorang bumil punya panggilan khusus buat janin dalam perutnya. Saya pun ngga mau ketinggalan tapi ngga mau namanya sama dgn panggilan bumil-bumil lainnya. Utun, debay, baby-namaibunya, atau baby-inisialrencananamababy. Semua ngga direncanakan atau dipikirkan dengan serius kok. Semua ngalir begitu saja. Kebetulan, waktu udah tau saya hamil, suami suka manggil janin kami dengan panggilan “mujahid”. Karena menurutnya, janin kami itu adalah pejuang. Saat sel telur yang hanya satu itu diperebutkan oleh jutaan sperma, ternyata dialah pemenangnya. Dan harapan kami semoga nantinya dia bisa menjadi pejuang di jalan Allah, aamiin.. Tapi saya masi berasa asing dan aneh setiap suami manggil begitu. Berat banget ya panggilannya buat makhluk yang panjangnya baru beberapa mili meter itu. Akhirnya saya menambahkan kata “kecil” di belakang nama itu, sehingga terciptalah MUCIL, MUjahid keCIL. Dan tau kah pemirsaaaaa, temen-temen kantor saya di Citarum masi gagal move on dari nama Mucil itu. Mereka masih manggil Mucil sampe sekarang Arasy udah umur 4 bulan, hihihi.. Terserah deh uwa-uwa dan tante-tante sekalian..

(di)KUAT(kan) MENGHADAPI LDR
Katanya bumil itu harus hepi. Tapi dalam perjuangan melewati trimester pertama tanpa suami itu berat juga ternyata. Waktu mual, ngga ada yang mijitin. Berangkat ngantor kadang harus jalan menuju tempat angkot dengan tas berisi laptop. Dilanjut naik ojeg yang kadang sudah diingatkan kalo saya hamil, mereka tetep ngebut. Pas perjalanan pulang ke Lembang seminggu sekali, kadang saya berenti di tengah jalan untuk menepi karena rasa mual, takutnya saya muntah di angkot. Belum lagi, urusan kepindahan kerja saya yang terkatung-katung, sangat sangat menyedot pikiran dan emosi. Sedih, tapi alhamdulillah selalu dikuatkan oleh Allah. Alhamdulillah dipasangkan dengan suami yang selalu berpikiran positif. Jadi setiap kali saya misuh-misuh tentang kepindahan saya, suami langsung mengingatkan untuk sabar. Setiap dua minggu sekali, suami saya pulang ke Bandung, dan saya dimanjakaaaaaan sekali. Setiap mual, perut saya dielus-elus. Walaupun cuma bisa dua minggu sekali, tapi bisa buat penyemangat dua minggu kedepan. Dan alhamdulillahnya lagi, ibu bos saya yang baik, suka ngajak saya pulang bareng (dibaca : nganterin pulang). Jadi aman dari goncangan ojeg. Di usia kehamilan menginjak lima bulan, alhamdulillah surat pindah kerja saya turun. Akhirnya bisa berkumpul dengan suami. Hikmahnya, dibalik sebuah kesulitan, pasti ada kemudahan.

DAFTAR PENGECUALIAN TIAP BULAN
Dikarenakan kami masih tersugesti dengan anjuran dari dr. Setyorini (dokter pertama yang memeriksa saya), no ayam, no pengawet, no pewarna, no msg, tapi bumil masi pengen makan enak, akhirnya saya bikin daftar makanan yang harusnya ngga boleh saya makan tapi diperbolehkan sekali setiap bulannya, diantaranya mie instan dan junk food. Suami setuju dan saya meminta suami untuk ikut puasa makan makanan enak itu. Hehehe... Masa emaknya aja yang berkorban, bapake juga harus berpartisipasi dong, ini kan anak berdua. Tapi ngga jarang kok saya memelas supaya diperbolehkan makan makanan itu sampai dua kali dalam sebulan. Daripada bumil manyunnnn

mucilnya lagi pengen mamam mekdi


MENCARI NAMA
Nama adalah doa. Jadi, kami pengen nama yang sesuai dengan harapan dan doa kami. Kalo suami sih pengen si Mucil ini jadi seorang pemimpin. Kalo saya sih ngikut aja, tapi masih punya keinginan kalo nama belakangnya itu sama untuk semua anak-anak kami nantinya. Kebetulan suami punya nama belakang keluarga dari bapak tapi ngga dicantumin dalam akte lahir. Tadinya saya kira, Mucil kami akan diberi nama belakang itu, tapi suami ngga setuju. Lalu saya puter otak dengan cari nama singkatan dari nama kami berdua, Agung dan Hani. Dari hasil ngelamun dan oret-oret, muncullah empat nama yang paling memungkinkan, Agha (Agung dan Hani), Putagha (putra/putri Agung dan Hani), Nayagha (anak kesayangan Agung dan Hani) dan Sayagha (kesayangan Agung dan Hani). Suami tertarik dengan nama Agha atau Putagha, sedangkan saya tertarik dengan nama Sayagha. Penawaran dari saya, izinkan nama belakang Mucil (beserta adik-adiknya nanti) adalah Sayagha, dan suami saya bebas memberi nama depan. DEAL!! Suami mulai mencari nama depan itu beberapa minggu sebelum melahirkan. Itu pun setelah saya desak terus menerus buat baca buku kumpulan nama bayi. Akhirnya beberapa kandidat nama sudah di tangan tapi baru diputuskan setelah Mucil lahir. Untuk nama tengah, didapet begitu saja waktu kami mau membeli buku kumpulan nama bayi. Saat random kami membuka lembaran salah satu buku, mata kami tertuju pada satu nama, Athallah, karunia Allah. Kami langsung jatuh cinta dan mencatatnya di handphone. Arasy Athallah Sayagha – Pemimpin kaum yang dikaruniai Allah, kesayangan Agung dan Hani. Aamiin..

SIAP MENGHADAPI PERSALINAN
* Hypnobirthing
Kata ‘hypnobirthing’ kami kenal dari photographer pernikahan kami yang menceritakan manfaat hypnobirthing pada kelahiran anak-anaknya. Jadi sebelum saya hamil pun suami sudah membelikan saya buku Hypnobirthing karya bu Lanny Kuswandi. Hypnobirthing ini bukan cuma bermanfaat saat proses melahirkan, tapi selama masa kehamilan. Bagaimana kita menghadapi mual, stres dan berkomunilkasi dengan bayi kita. Alhamdulillah sangat membantu. Apalagi pas trimester awal. Relaksasi dengan mengatur pernafasan, menenangkan pikiran dan berpikiran positif. Tapi tetep kalo udah ngga kuat, ada yang harus mengingatkan. Support suami juga sangat penting walo hanya lewat sambungan telepon. Mendekati persalinan, saya latihan pernafasan tiap malem, supaya pas lahiran saya bisa mengatur nafas lebih panjang saat kontraksi. Pikiran positif ditanamkan supaya nanti saat berjuang kita bisa menerima bahwa kontraksi ini adalah proses alamiah si bayi mau keluar. Jadi ikuti alurnya, jangan dilawan. Alhamdulillah saya melewati persalinan dengan normal, nikmat dan cepat prosesnya. Ngga bikin trauma.

* Parenting Class
Atas informasi dari seorang teman kantor, kami coba-coba mengikuti parenting class di RSB Bunda. Untuk orang tua baru seperti kami, mengikuti kelas ini sangat bermanfaat. Jadwalnya bisa diliat disini.

* Senam Hamil
Saya mulai melakukan senam hamil di usia kandungan 32 minggu dan masih di RSB Bunda. Di leafletnya tulisannya seman hamil pilates. Jadi lebih mengutamakan pengaturan pernafasan. Senam hamil ini berfungsi untuk relaksasi selama kehamilan (mengurangi pegal punggung, sesak nafas, kaki yang membengkak) dan mempersiapkan persalinan (supaya tulang punggung lebih lentur saat pembukaan, dll). Sebelum senam, instruktur ngasi gambaran proses persalinan dan tips menghadapi persalinan. Di akhir senam, diajarin juga cara dan posisi mengejan yang benar. Terus kita diperdengarkan denyut jantung janin kita. Mendekati akhir kehamilan, saya semakin rutin melakukan senam hamil di rumah, sendiri dengan gerakan seingetnya. Heheheh...

* Belanjaaaaaaaa
Nah ini hal yang menyenangkan namun juga mendebarkan. Menyenangkan karena diperbolehkan belanja oleh sang suami tapi mendebarkan karena perintilan-perintilan kecil itu kalo dijumlahkan ya buanyak juga akhirnya. Sebelum belanja, saya survey dulu keperluan apa yang dibutuhkan untuk bayi baru lahir, lewat internet, tanya ke beberapa teman dan minta daftarnya ke toko perlengkapan bayi. Jadi semuanya masih under control.

MENABUNG
Semenjak tau hamil, kami udah mempersiapkan dana ini itu dengan menabung tiap bulannya. Tujuannya supaya ngga terlalu kaget ya. Karena bukan cuma belanja lho keperluan mo punya anak itu. Di minggu ke-32, pemeriksaan kehamilan jadi dua minggu sekali, di minggu ke-36, pemeriksaan kehamilan meningkat jadi seminggu sekali. Lalu biaya melahirkan, mau di RS atau bidan. Dicover asuransi engga? Lalu biaya aqiqah, yang bukan cuma satu atau dua kambing tapi ngadain acaranya juga butuh biaya. Eungap kalo ngga dicicil mah (buat kami pribadi). Tapi intinya memang harus dipersiapkan. Rezeki memang sudah ada yang mengatur, tapi ikhtiar kami juga untuk mengumpulkannya. Urusan tiba-tiba ada yang ngasih sih ya masukin tabungan lagi aja buat jajan mucil (emaknya sih yang bahagia karena membelanjakannya).


salam perut buncit dari Semarang
 

Friday, July 24, 2015

Operasi Perdana



Pertama-tama saya minta maaf kalau tulisan saya ini terlalu vulgar. Tapi niat saya menulis ini murni untuk berbagi pengalaman saya. Siapa tahu ada yang pernah atau sedang mengalami kebingungan seperti saya setahun yang lalu.

Pada bulan April 2014, saya mengalami keanehan pada saat saya sedang mandi. Ketika saya meraba (maaf) payudara (PD) sebelah kiri saya, saya merasakan ada kejanggalan. Ada bagian dekat areola yang menurut saya agak keras. Saya meraba PD saya yang sebelah kanan, aman, ngga ada bagian yang lebih keras. Memang sudah menjadi kebiasaan saya waktu mandi untuk memeriksa keadaan PD saya, walopun mungkin cara saya ngga sesuai sama teknik SADARI (perikSA payuDAra sendiRI). Keanehan ini saya sampaikan pada suami. Saya juga mulai searching di internet, mencocokan tanda-tanda yang saya alami. Suami saya menyarankan untuk mengkonsultasikan dulu pada ibu dan kakak saya. Mungkin mereka lebih memahami permasalahan saya. Namun jawaban kurang memuaskan saya terima dari ibu. Katanya bagian yang keras itu mungkin karena perubahan hormon setelah saya menikah. Saya bertanya pada teman-teman saya yang sudah menikah, hampir semua menjawab tidak mengalami keadaan yang saya alami. Saya makin parno, tapi juga ngga makin berani buat konsultasi ke dokter. 

Setiap saya googling mengenai benjolan di payudara, di akhir artikel selalu menuliskan, “untuk memastikan benjolan tersebut, konsultasikanlah ke dokter”. Keberanian saya mulai muncul tiga bulan kemudian. Iya, saya harus periksa ke dokter. Tapi dokter siapa yang bagus? Tepatnya, dokter wanita mana yang bagus. Setelah tanya sana sini sama temen, sodara dan mbah google, saya tertarik dengan dr. D. Francisca Badudu, Sp.B(K) Onk. Selain sebagai dokter spesialis onkologi (spesialis tumor-tumoran), beliau juga adalah seorang dosen UNPAD. Beliau buka praktik di RS Hasan Sadikin (RSHS), RS Boromeus, RS Santosa dan RS. Advent. Saya memutuskan periksa di RSHS, karena jadwalnya paling pagi diantara RS lainnya. Saya minta jadwal beliau langsung melalui email. Per Junil 2014, ini jadwal praktiknya ya. Kalo udah ngga update, silakan berkirim email (fbadudu@yahoo.com), beliau ngga sungkan membalas lho..

RS Boromeus : Senin pukul 17.00 dan Rabu pukul 15.00
RS Hasan Sadikin : Selasa dan Kamis pukul 11.00
RS Santosa : Selasa dan Kamis pukul 17.00
RS Advent : Selasa - Kamis pukul 14.00

dr. Francisca praktik di poli Anggrek RSHS. Pemeriksaan pertama dengan beliau lumayan singkat. Beliau memeriksa PD kanan dan kiri saya kemudian beliau mengatakan bahwa semua benjolan itu tumor, dan tumor itu ada yang jinak dan ganas dan harus dioperasi, karena tumor ngga bisa diobati. Beliau menyarankan saya untuk USG mammae dan bertemu beliau lagi untuk konsultasi hasil USG itu dua hari kemudian. Saya langsung galau. Hahhh.. saya punya tumor dan harus dioperasi?

Pertemuan kedua, saya agak kzl nunggu dr. Francisca yang ngga dateng-dateng. Harusnya dateng jam 11.00, ini baru dateng jam 13.30. Saya langsung setor hasil USG PD saya. Dan memang harus operasi kecil. Dua hal yang bikin kepikiran, gimana rasanya operasi dan bayar operasinya piye??? Waktu itu saya dan ibu langsung cari informasi ke bagian operasi minor RSHS. Selain tanya prosedur operasi, saya juga tanya kemungkinan untuk saya menggunakan fasilitas ASKES dari kantor, yang ternyata waktu itu sudah menjadi BPJS.

Prosedur pengurusan BPJS dan pendaftaran operasi melalui jalur BPJS ngga saya certain secara detail ya, soalnya udah banyak lupanya. Takut menyesatkan. Yang pasti kalau mau pake BPJS, harus ada rujukan dari Puskesmas, terus  ke RSUD. Dan satu pesen saya kalo mau pake fasilitas BPJS di RSHS, siapin stok sabar yang banyak yaaaa.. RSHS, Rumah Sakit Harus Sabar.. Kalo mo apa-apa harus ngantri panjang. Nanya ke petugas prosedurnya gimana, kadang ga akurat. Udah cape-cape ngantri ternyata salah loket. Belum lagi fasilitas ruang tunggu yang “sumpek”. Dan yang lebih miris, banyak pasien rawat inap yang ikut ngantri dan mereka cuma dianter sama keluarganya. Jadi yang dorong-dorong kursi roda ato tempat tidurnya bukan perawat. Kabayang ngga, lagi dalam keadaan sakit, pusing, harus angin-anginan di ruang tunggu karena (mungkin) mo cek lab ato ketemu sama dokter spesialis. Ah sudah mulai melenceng. Pokonya, saya ngurusin buat operasi itu selama dua hari. dan keluarlah jadwal operasi saya, 16 Juli 2014. Saya harus puasa dari jam 12 malem dan dateng ke bagian operasi minor jam 7 pagi. Kebagian nomer berapa? Entahlaahhh...

Tanggal 16 Juli 2014, jam 7 pagi, saya ditemani suami dan keluarga udah sampe di Instalasi Bedah Sentral Minor dan Endoskopi RSHS. Kebetulan, sodara suami ada yang kerja jadi perawat di bagian itu. Jadi lewat beliau, saya bisa lebih leluasa ngecek kapan waktu operasi saya. Katanya, saya kebagian nomor urut tiga. Keadaan emosi campur aduk naik turun kayak roller coster. Yang tadinya deg-degan karena mo operasi perdana, sampe kesel karena dokternya ga dateng-dateng. Jam setengah dua belasan, setelah saya dipasang gelang nama pasien, akhirnya saya dipanggil masuk ruang operasi. Kirain mau langsung dibelek aja. Taunya tetep harus nunggu. Setelah ganti pake baju operasi, saya pamit dan minta doa sama ibu dan suami. Saya diarahkan ke ruang tunggu pasien dan disuru nunggu sambil rebahan di tempat tidur dorong. Selain saya, ada dua orang pasien yang lagi nunggu juga.

Setengah jam saya duduk dan rebahan sambil ngeliat dokter, dokter koas, dan perawat hilir mudik di depan saya. Kok saya dicuekin gini sih? Dingin nih, cuma pake baju selembar kain doang. Akhirnya ada (nampaknya) dokter (koas) yang mewawancarai saya mengenai riwayat kesehatan saya. Setelah itu, ada dokter yang memperkenalkan diri sebagai asisten dr. Francisca, mau periksa benjolan di PD saya. OH TIDAAAKKKK... Asisten dokternya LAKI-LAKI!! Pasrah deh, saya gakan inget juga mukanya karena si asisten pake masker. Setelah itu, semuanya berjalan begitu cepat. Saya disuru masuk ke ruang operasi. Saya terus didampingin sama perawat yang juga sodara suami saya itu. Jadi saya bisa lebih tenang. Saya disuru rebahan sambil tali baju saya dilepas. Ruangannya dingiiiiiiin banget. Hidung saya dipakein selang, terus saya juga dipakein infus. Ngga lama, dokter anastesi menyuntikan cairan anastesi ke infusan. Sepersekian detik, leher saya berasa kaku, dingin, pandangan melayang dan kesadaran menghilang. Pulass blas!!

Btw, salah satu alesan saya takut operasi adalah saat-saat anastesi ini. Takut kalo dosis anastesinya kurang dan saya ngga bener-bener dibuat tidur jadi sayatan-sayatan pas operasi masi berasa tapi saya ngga bisa apa-apa. Hahaha.. iya, rasanya saya pernah liat kejadian itu di pelem-pelem.

Setengah dua siang, saya mulai sadar. Ternyata saya sudah di ruang recovery. Saya berusaha membuka mata tapi beraaaaat banget. Seumur hidup saya, saya ngga pernah ngalamin ngantuk sengantuk itu. Mungkin rasanya kayak ngga tidur selama seminggu. Jadi saya melanjutkan sisa-sisa anastesi itu. Sampai akhirnya bisa bener-bener buka mata sekitar jam tiga sore. Dan yang saya rasakan adalah rasa lapar yang luar biasa, karena saya udah puasa dari jam 10 malem kemarinnya. Tapi belum boleh makan dan Cuma dikasi minum. Soalnya kalo langsung diisi takut muntah. Tersiksa pemirsaahhh.. Akhirnya saya diizinkan pulang jam empat sore.

Alhamdulillah biaya operasi GRATISTISTIS dicover BPJS. Cuma beli obat aja krn dokter ngga mau ngasih obat generik. Proses recovery juga alhamdulillah cepat. Besokannya saya udah boleh mandi, walo masih “asa-asa” kalo ngegerakin tangan kiri. Perban anti air diganti setiap (dua?) hari sekali. Luka operasi dioles betadine. Kemudian sekali kontrol untuk liat bekas jaitan dan sekali lagi kontrol untuk lepas jaitan. Benjolan itu langsung dicek di Patologi Anatomi dan hasilnya alhamdulillah tumor jinak. 

Semoga menjadi operasi perdana dan operasi yg terakhir. Sehat sehat SEHAT!!


Thursday, February 26, 2015

Sebulan di Perantauan

Alhamdulillah udah sebulan lebih 8 hari jadi penduduk kota Semarang (walopun KTPnya belom jadi). Suka duka pasti ada. Tapi ya dinikmati saja. Jadi gimana rasanya hidup di negri orang??

1. Geger Budaya
Geger bahasa sih lebih tepatnya. Ternyata disini bahasa daerah itu bener-bener dipake jadi bahasa sehari-hari. Ngga kayak di Bandung yg penggunaan bahasa daerahnya misalnya wkt di pasar doang. Pernah waktu bertamu ke rumah tetangga, saya lgsg diajak ngomong pk bahasa Jawa. Saya melongo lah. Trus pernah juga pesen taxi. Pas supir taxinya balik menghubungi saya, pa supir lgsg tembak pake bahasa Jawa. Atulah, kan ga semua yg tinggal di Jawa teh orang Jawa. Yang paling bikin cengo bin pasrah sih tiap belanja ke tukang sayur deket rumah. Kalo ngitung belanjaan selalu pake bahasa Jawa dan menyampaikan berapa yg hrs saya bayar dgn bahasa Jawa. "Selikur, bu" mba tukang sayurnya melaporkan. Saya cengengesan sambil jawab, "selikur itu berapa mba?". Udah berkali-kali saya bilang saya ngga bisa bahasa Jawa, tapi ya krn mungkin kebiasaan jd selalu balik ke bahasa Jawa lagi. Jadi yawes, saya mengalah, saya harus adaptasi dan mulai belajar itungan Jawa. Di kantor juga SEMUA pake bahasa Jawa. Tp lebih bertoleransi, kl ngobrol sama saya ya pasti pake bahasa Indonesia. Tp kalo mereka lg pada ngobrol ya balik lagi Jawaan. Jadi ya saya ngga pernah nyambung. Orang-orang pada ketawa, saya senyum meringis krn ngga ngerti. Tp skrg sedikit-sedikit jadi tau beberapa kosakata Jawa. Ohiya... Gimana perasaannya kalo tiba-tiba kita ketemu sama orang sekampung di tempat perantauan? Seneng?? Ngga selaluuuuu... Waktu ada acara arisan RT, ternyata ada tetangga yg orang Bandung. Orang Leuwi Panjang. Yang bikin sedih adalah wkt dia bilang gini, "saya udah 4 taun di Semarang ikut suami, logat (Jawa) saya udah ga bisa berubah". Jadi mbanya udah plek plek Jawaan padahal asli Bandung dong. Nasib saya gimana ini setahun mendataaaaaang??

2. Ketakutan Terbesar yang Terjawab
Ketakutan terbesar saya setelah berumah tangga apa cobaaaa? MASAKIN SUAMI. Hihihi... Da apa atuh, saya mah bikin sayur bayem aja gagal. Emang ngga hobi. Dan saya termasuk orang yang ngga bisa cicip-cicip makanan. Intinya ngga bisa ngenakin makanan. Trus nasib saya gimana atuh setelah seatap berdua sama suami? Da pasti saya yg hrs masak. Waktu ibu saya nganter pindahan ke Semarang, beliau berpesan, "tumis2an mah gampang, intinya bawang merah, bawang putih, tomat ato saos tomat. Udah gitu aja." Dan bagaimana hasilnya? Alhamdulillah karena keadaan dan keterpaksaan saya bisa juga masak walopun kadang bumbunya pas kadang rasanya jd aneh. Saya juga selalu berkunjung ke cookpad buat cari berbagai macam resep masakan. Tapi alhamdulillah jg dikasih suami yang ngga pernah protes sama masakan buatan isterinya. Semua yg dimasak pasti dimakan. Pernah dipuji masakannya? Pernah doooong. Pas bikin ayam goreng dibilang enaaaaakk ayamnya. Tapi itu pake bumbu racik instan. Disitu kadang saya merasa sedih. Huhuhu...

3. Adaptasi cuaca
Waktu memutuskan menikah sama suami, saya tau konsekuensinya saya harus ngikut suami ke Semarang. Dan yang terbayang-bayang adalah cuacanya yang lebih panas dari Bandung. Pasti cepet rungsing deh secara saya orang gunung yg harus migrasi ke daerah pesisir. Dan dalam keadaan hamil yg mana suhu tubuhnya meningkat. Nyuci piring aja udah gerah banget, apalagi masak? Jadi solusinya saya masang kipas angin yg ada pada jarak 4m dr dapur. Mayan ada angin sepoy-sepoy. Dari senin-jumat sih dari pagi-sore aman ya bisa ngadem pake AC di kantor. Kalo di rumah ya wassalam. Krn belum sempet beli AC jadi ya kerjaannya ngadep kipas angin mulu. Sampe krn keringetan terus menerus, kl lg duduk deket suami, dia sk nyeletuk, "bau acem". Heuuuu.. AC-in serumah-rumah atuuuuhhh :p

4. Musibah
Seminggu setelah resmi pindah, suami jatuh sakit. Awalnya panas yg naik turun. Panasnya menjelang sore. Kalo pagi malah panasnya turun. Sering lemes juga. Dikirain masuk angin biasa walo agak khawatir kena DB. Di hari ke-4, saat suami udah ngedrop bgt kyk mau pingsan, akhirnya qt memutuskan ke dokter dan cek lab. Katanya trombositnya turun hampir di batas yg terkena DB dan ada di satu level menuju tipes. Ya alhamdulillah ada keluarga jg di Semarang, ada bapak mertua n ade ipar. Jadi yg ngurusin dan anter-anternya ke dokter n RS sama ade ipar. Di RS nginep 2 hari trus diijinin pulang. Lumayan juga lagi dlm keadaan hamil hrs ngurus rumah dan ngurus orang sakit dan harus tetep masuk kerja. Gempooooooyyy.

5. Nama Saya Bu Agung
Mungkin krn kebiasaan ibu-ibu di komplek yaaaa... Jadi waktu saya kenalan sama ibu-ibu di komplek, saya kan namanya Hani, jd ya memperkenalkan diri dgn nama Hani doooong.. Tp pas memperkenalkan diri dgn cara begitu, ditanyalah nama suami njenengan siapa, "Agung," dan ibu-ibu pun memanggil saya dengan sapaan, "bu Agung".

6. Kangen Jajanan Bandung
Apalagi coba yang dikangenin dari Bandung? Ya makanannya laaaahh.. Dan saya pun begitu. Jadi waktu ada temen di ruangan yang adenya tinggal di Bdg bawa oleh2 basreng, saya bahagia setengah matiiii.. OMG.. Basreeeeeeng... Tp pas kemaren mampir ke Alfamart, nemu basreng n keripik singkong Maicih, ohiya ya kan ada Maicih. Susah-susah amat nyari Bandung di Semarang, heuheu.. Tapi waktu kangen cilok, saya terpaksa bikin sendiri sih. Walopun hasil akhirnya jauh dari yang namanya cilok. Ohiya, pernah saya ngelewat depan kampus UNDIP, disitu banyak jajanan di gerobak berjejer. Nampaknya sih ada jajanan Bandung. Suatu hari harus ngerengek sama suami biar jalan-jalan ke situ aaahhhh..

7. Kangen Keluarga
Pasti. Ngga usah dijabarkan panjang lebar.

Sekian.